Le Monde de Midi

Vouloir c'est Pouvoir



Semilir angin mengibarkan rambut panjangnya. Ia masih duduk termenung memandang langit. Sedari tadi, aku sudah memerhatikannya dari tempatku berdiri sekarang. “Dia cantik,” gumamku lirih. Entah sejak kapan aku mulai menyukainya. Yang pasti, setiap pulang sekolah aku selalu menunggunya di gerbang sekolah, dan secara diam-diam mengikutinya ke tempat ini, sebuah padang rumput di dekat bukit. Aku selalu memerhatikannya dari atas sini, di bawah pohon rindang di tepi jalan setapak menuju padang rumput itu. Aku tak berani turun untuk menemuinya. Hanya memerhatikannya saja, itu sudah cukup bagiku.
***
Waktu bergulir begitu cepat. Ternyata sudah satu tahun aku menyimpan sendiri perasaanku. Aku ingin menyampaikan padanya, tapi bagaimana mungkin? Aku terlalu pengecut dalam hal ini. Walaupun sudah kukumpulkan keberanian untuk mengatakan padanya, aku tetap tak mampu melakukannya. Dan keadaan ini diperparah dengan hadirnya orang lain di dekatnya. Yah, dia sudah memiliki seseorang sekarang. Aku memang sedikit terlambat. Bukan hanya sedikit, aku memang benar-benar terlambat untuk menyampaikan perasaanku kepadanya. Akan tetapi, hal tersebut tak mengubah kebiasaanku. Aku masih secara diam-diam mengikutinya pergi ke padang rumput sepulang sekolah. Aku masih tetap pada tempatku, di bawah pohon rindang di tepi jalan setapak. Dan aku merasa lega karena ia tak pernah membawa teman laki-lakinya itu ke tempat ini. Akhirnya aku menganggap bahwa tempat ini merupakan tempat favorit kami berdua. Mungkin hanya aku yang menganggap demikian. Bahkan dia pun tak tahu kalau aku selalu mengikutnya ke tempat ini. Jadi mana mungkin dia menganggap bahwa tempat ini merupakan favorit kami berdua, kan?
***
Aku termenung duduk di bangkuku. Berkali-kali kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah hampir jam delapan, kenapa dia belum juga muncul? Mungkinkah ia tak masuk hari ini? Tetapi kenapa? Bukankah ia baik-baik saja kemarin? Bahkan ia masih mengunjungi padang rumput di dekat bukit. Tidak mungkin ia sakit hari ini. Aku terus mencemaskannya  hingga bel masuk akhirnya berdering. “Ah, mungkin ia terlambat,” batinku, lebih untuk menenangkan diriku sendiri. Namun harapanku pupus setelah bel istirahat akhirnya berdering. Ia tak masuk hari ini. Tetapi kenapa? Aku terus memikirkannya hingga akhirnya jam sekolah usai.
Aku pulang dengan mengayuh sepedaku. Sebenarnya aku ingin langsung pulang. Namun entah kenapa aku berkeinginan untuk ke padang rumput dahulu. Aku berharap dapat menemukannya di sana. Namun segera kusergah pikiran itu. Hari ini saja ia tak masuk, jadi mana mungkin ia pergi ke padang rumput? Setelah mengayuh untuk beberapa lama, akhirnya aku sampai di tempat itu. Aku menuju tempatku biasa berada. Belum sempat aku duduk di sana, pandanganku menangkap seseorang di tempat biasanya ia berada. Seorang gadis menggunakan blouse berwarna biru muda sedang duduk di sana. Aku meyakinkan pandanganku dengan mengerjap-ngerjapkan mataku untuk beberapa saat. Namun, tetap saja gadis itu yang nampak di sana. “Kenapa ia di sini?” gumamku lirih. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sehingga aku tak menyadari ia sudah meninggalkan tempat dimana ia duduk. Dan sekarang ia berada di hadapanku. Ya, dia benar-benar di hadapanku. Jantungku tiba-tiba berdegup sangat cepat. Rasanya seperti ia akan meninggalkan rongga dadaku. Aku hanya memandangnya sebelum akhirnya tersenyum. Kaku.
“Kau juga sering ke sini?” ia membuka pertanyaan.
“Ehm, i..iya,” jawabku terbata-bata sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Sejak kapan?” tanyanya lagi.
Ya Tuhan, haruskah aku menjawab pertanyaannya yang satu ini? Bagaimana kalau dia curiga? Bagaimana jika dia akhirnya tahu bahwa selama setahun belakangan ini aku selalu membuntutinya ke tempat ini? “Eh.. sekitar satu tahun yang lalu,” jawabku jujur dengan menundukkan kepalaku. Malu.
“Aku tahu.”
“Eh?” aku mengangkat kepalaku. Terkejut dengan pernyataannya.
“Iya, aku mengetahuinya,” katanya penuh keyakinan.
“Te..tet..tapi bagaimana?” tanyaku gugup.
“Entahlah, tapi aku mengetahuinya. Kau selalu menungguku di gerbang sekolah dan secara diam-diam mengikutiku untuk pergi ke tempat ini. Dan di sinilah tempatmu selalu duduk untuk menungguiku sampai aku pulang,” jawabnya.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa tertunduk malu dan merasa bersalah karena tanpa sepengetahuannya, aku mengikuti gadis itu selama ini.
“Hei, kenapa kau menunduk?” tanyanya sambil memegang pundakku. Aku mengangkat kepalaku, dan senyum itu sedang terkembang. Ya Tuhan, baru kali ini aku melihatnya tersenyum selepas itu. Walaupun berada di kelas yang sama, aku belum pernah melihatnya tersenyum sekali pun. Ia memang anak yang sedikit tertutup. Aku terkadang heran, anak seperti dia bisa mendapatkan pacar. Padahal ia jarang sekali terlihat berkumpul dengan anak-anak lain. Walaupun begitu, toh aku tetap menyukainya.
“Maafkan aku,” jawabku setelah beberapa saat terdiam.
“Maaf? Untuk apa?” tanyanya heran.
“Karena aku telah mengikutimu secara diam-diam selama ini,” aku tertunduk lagi.
“Hei, kau tak bersalah. Jadi untuk apa meminta maaf? Aku juga tidak terganggu denganmu yang selalu mengikutiku ke tempat ini,” ia tersenyum lagi.
“Eh, terima kasih,” aku memandangnya. Tersenyum. “Kenapa kau tak masuk hari ini? Kau tidak sakit kan?” tanyaku dengan nada sedikit khawatir.
Dia tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia mengambil posisi duduk di bawah pohon tempat kami berdiri. Aku mengikutinya dan duduk di sampingnya. Ia memandang ke arah padang rumput dengan pandangan yang sedikit kosong. Aku masih terus memerhatikannya, menunggu jawabannya.
“Aku sudah keluar dari sekolah,” katanya setelah terdiam beberapa lama dengan suara sepelan mungkin. Aku yakin, ia ingin menangis saat mengatakan hal itu. Suaranya terdengar tercekat di tenggorokan.
“Kenapa?” aku bertanya padanya. Juga dengan suara tak kalah pelan.
Ia terdiam lagi. Sepertinya ia sangat berat untuk mengatakan hal ini. Seperti ada sesuatu di tenggorokannya yang mencekat suaranya untuk keluar. Aku ikut terdiam. Lama kami melakukan hal tersebut. Hanya semilir angin dan suara gemerisik rerumputan yang terdengar di telingaku. Aku menatapnya sejenak. Ia masih memandangi langit sore yang berwarna jingga kemerahan. Pandangannya masih nampak kosong. Ia juga belum menjawab pertanyaanku. Sudah sekitar lima belas menit sejak aku mengajukan pertanyaan itu. Entah apa yang membuatnya seperti tak mau menjawab pertanyaanku.
“Sudahlah jika kau tak mau menjawabnya,” kataku kemudian.
“Tidak… A-aku harus pergi ke Melbourne,” jawabnya lemah. Ia tertunduk lesu. Sepertinya ia benar-benar ingin menangis kali ini.
“Melbourne? Kapan? Kenapa?” aku memberondongnya dengan pertanyaanku. Aku sangat terkejut dengan hal yang ia katakan. Ia tak segera menjawab. Kini isakan mulai terdengar dari mulutnya. Ia masih bungkam untuk menjawab. Mungkin dia belum ingin menjawabnya atau memang tak ingin menjawabnya? Entahlah. Kenapa aku jadi merasa seperti ini? Kenapa aku justru merasa tidak rela jika dia harus pergi dari sini? Dari sisiku. Hari beranjak petang. Matahari hanya tinggal menampakkan semburat sinar jingganya membuat pendar warna oranye di langit dan awan sore hari. “Sebaiknya kita pulang, ayo aku antar ke rumahmu,” ajakku kemudian. Ia hanya mengangguk dan meraih tanganku untuk digandengnya. Aku mengantarnya pulang dengan sepedaku. Kami hanya diam selama perjalanan, tak sepatah kata pun keluar dari mulut kami berdua.
“Kau tidak masuk dulu?” dia menawariku untuk singgah sebentar di rumahnya. Tapi hari sudah semakin gelap, aku menolaknya dengan halus. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika aku terlalu lama bersamanya hari ini. Mungkin aku tak akan mengijinkannya pergi esok hari. Lebih tepatnya pergi dari sisiku.
“Hati-hati di jalan,” ia berpesan kepadaku.
“Istirahatlah, besok kau harus berangkat,” kataku sambil beranjak pulang menuntun sepedaku. Aku tak berani memandang wajahnya. Aku takut tak bisa melepaskannya pergi. Tanpa kusadari ternyata air mata telah menetes dari kedua pelupuk mataku. Memang aku bukan siapa-siapa untuknya. Tapi tak bolehkah aku merasa tidak rela jika ia pergi? Dan satu lagi, aku belum mengatakan perasaanku padanya. Mungkin hal satu ini tak perlu kukatakan. Cukup aku dan Tuhan yang mengetahuinya. Aku tak mau membebaninya di saat seperti ini.
***
Kabut masih menggelayut di sekitar bukit ketika aku bangun dari tidurku. Suara cicit burung sudah mulai terdengar menyambut pagi. Perlahan-lahan sang surya pun keluar dari peraduannya. Aku termenung sejenak sebelum beranjak dari tempatku. Aku merindukannya. Sudah cukup lama sejak kepergiannya ke Melbourne aku tak mendapat kabar darinya. Seperti apa dia sekarang? Masihkah senyum manis itu melekat di bibirnya? Aku merindukan segalanya darinya.
***
Aku masih berkutat dengan kameraku untuk mencari objek ketika tak sengaja aku sampai ke tempat dimana dulu kami sering menghabiskan waktu sepulang sekolah. Tempat ini masih sama. Hanya sekarang sudah lebih terawat sehingga pemandangan di sana pun semakin bagus. Pohon rindang dimana aku sering menungguinya pun masih kokoh berdiri di tepi jalan setapak menuju padang rumput itu. Andai dia masih di sini, mungkin kami akan setiap hari mengunjungi tempat ini bersama. Atau mungkin tidak, karena dia mungkin akan mengajak orang lain ke tempat ini. Entahlah.
Aku beranjak turun ke padang rumput di bawah. Selama aku mengikutinya ke sini, belum satu kali pun aku turun ke tempat ini. Aku selalu memerhatikannya dari bawah pohon di tepi jalan. Ternyata ada semacam sungai kecil di sini. Aku segera mengambil kameraku untuk mengabadikan pemandangan indah itu. Aku duduk di tepi sungai dan mencelupkan kakiku kedalamnya. Dingin. Sedingin hatiku yang merindukan kehadirannya kembali. Aku menengadahkan wajahku ke langit. Matahari sudah berada di ufuk barat bersiap pulang ke peraduannya. Aku teringat saat ia mengatakan perpisahan itu. Ia pun belum mengatakan alasannya untuk pergi. Itu salahku jika tak mengetahui alasannya untuk pergi karena aku tak datang saat ia akan berangkat. Aku takut aku tak bisa melepaskannya pergi. Dan aku lebih memilih untuk pergi ke tempat ini daripada harus bertemu dengannya yang akhirnya aku pun tak dapat menemuinya lagi.
Aku masih memandangi langit sore. Mengingat wajahnya yang selalu tersenyum setiap ia memandang langit. Sepertinya ia akan merasa damai jika memandang langit. Aku pun demikian. Sama sepertinya, langit membuatku merasa damai.
Di langitku sekarang, angkasa berlatar belakang merah muda. Setitik cahaya terkecil di sana adalah bintang terindah untukku. Apakah kau sedang menatap langit yang sama di sana? Dan apakah pula bintang terindahku tertatap olehmu?

FIN

Depok, 10 Oktober 2012 at 10.40 PM

0 komentar:

Post a Comment

About this blog

Total Pageviews

Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers

Let's Talk

Quelle heure est-il?

Most Viewed

Labels