Le Monde de Midi

Vouloir c'est Pouvoir


Aku masih menggenggam cangkir kopiku erat. Aroma kopi tercium jelas dari asapnya yang masih mengepul. Namun aku lebih memilih untuk menatap butiran salju yang turun dari langit daripada mencicipi rasanya. Ingatanku melayang ke pertengahan musim gugur dua bulan lalu. Saat daun-daun maple mulai meninggalkan dahannya, aku memulai masa-masa sulitku.
“Maafkan aku,” katamu saat kita berjalan bersama di boulevard dekat kampus.
“Maaf? Untuk apa?” aku tak mengerti maksud ucapanmu. Aku tak merasa kau bersalah padaku. Lalu apa gunanya minta maaf?
“Untuk segalanya,” jawabmu sambil mengalihkan pandanganmu menatap guguran daun maple yang berserakan di jalan.
“Maksudmu?” aku semakin tak mengerti maksud pembicaraanmu. Saat itu,kau tidak segera menjawab. Kau terus saja berjalan di sisiku sambil terus memperhatikan guguran daun yang terserak di jalan. Kau masih saja diam. Aku membiarkannya. Aku tak ingin mendengarkan penjelasanmu. Aku terlalu takut untuk mendengarnya.
“Maaf karena aku telah masuk ke kehidupanmu,” kau akhirnya menjawabnya. Aku terhenyak, semakin tak mengerti maksud ucapanmu. Aku menghentikan langkahku dan duduk di kursi yang tersedia di pinggir jalan. Aku benar-benar tak mengerti maksud perkataanmu.
“Kau sama sekali tak bersalah, kenapa harus minta maaf?” tanyaku pelan. Kau menghentikan langkah pelanmu dan berbalik menuju tempatku terduduk lesu. Setelah berdiri untuk beberapa saat, kau mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Kau lihat daun yang berguguran itu?” kau bertanya seraya melayangkan pandangan kosong ke arah daun-daun yang melayang di udara.
“Kenapa dengan daun itu?” aku semakin tak mengerti arah pembicaraanmu.
“Aku akan seperti mereka,” kau menjawabnya dengan suara yang begitu pelan, berharap hembusan angin akan mengalahkan suaramu. Aku bergeming untuk beberapa saat. Aku lalu tersadar akan keadaanmu saat ini. Aku tertunduk lesu, terdiam untuk waktu yang cukup lama.
“Kau pasti bisa melaluinya, chèrie. Kau pasti bisa,” aku mencoba memberikan semangat kepadamu walaupun aku sendiri ragu dengan kalimat yang baru saja aku katakan.
“Tidak semudah itu aku dapat melaluinya,” kau masih menatap dedaunan yang gugur dengan pandangan kosong.
“Aku akan mendampingimu. Aku akan selalu mendampingimu untuk melaluinya,” kataku mantap.
“Tidak. Kau tidak akan bisa. Tidak akan mampu,” kau terdiam sejenak. “Kau juga butuh hidupmu, tak selamanya kau akan selalu di sampingku. Sudah terlalu lama. Kau butuh kehidupanmu sendiri.”
Aku terdiam mendengar ucapanmu. “Tapi ak--”.
“Mulai sekarang, cobalah untuk melepasku dengan perlahan,” kau tertunduk setelah mengatakannya. Aku melihat air mata menggenang di pelupuk matamu saat kau mengatakan kalimat itu.
***
Aku masih menggenggam cangkir kopiku. Kepulan asapnya sudah mulai menghilang. Aku menyeruput kopiku sedikit, menikmati rasanya hingga ia melewati tenggorokanku dan akhirnya masuk ke lambungku. Hangat. Tapi kehangatan kopi itu tak sehangat perasaanku. Sepertinya dingin dan bekunya salju lebih tepat untuk menggambarkan perasaanku.
Andai saja kau masih disini untuk sekadar menemaniku menikmati kopi di café ini, mungkin perasaanku akan berbeda. Namun kenyataannya kau sudah tidak ada disini. Kau sudah pergi dengan membawa serta asaku. Kita sudah terlalu lama bersama-sama sehingga hidup tanpamu terasa tak berguna untukku.
Bel café itu berdenting nyaring, pertanda ada pengunjung yang membuka pintunya. Ucapan selamat datang terdengar ramah dari pemilik café terhadap pengunjung yang baru datang itu. Aku menoleh ke arah pintu sejenak untuk melihat pengunjung yang datang. Ternyata sepasang kekasih. Aku kembali teringat akan kenangan kita saat pertama kali datang ke café ini. Aku tak begitu suka saat kau mengajakku kesini. Aku tak terlalu suka untuk pergi ke tempat-tempat seperti ini. Namun kau mnegubah itu semua. Kau membuatku menyukai tempat ini dan akhirnya menjadikannya tempat favorit kita berdua.
“Kau sudah menunggu lama? Maaf, aku baru saja bertemu profesor untuk mendiskusikan tugas akhirku,” katamu waktu itu, sambil tergesa meletakkan diktat-diktat tebal yang kau bawa ke atas meja sebelum akhirnya kau duduk di kursimu. Aku hanya terdiam, kemudian mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
“Kau marah padaku?” kau bertanya dengan nada takut padaku. Aku masih terdiam. Mana mungkin aku marah padamu? Setiap menatap mata hazelmu, aku tak dapat melakukan apapun. Jadi, mana mungkin aku bisa marah padamu?
Aku mengalihkan pandanganku dan menatap wajahmu. “Aku tidak marah sama sekali,” kataku kemudian. Senyum merekah di wajahmu, membuatku mau tak mau juga ikut tersenyum. “Kau terlihat begitu lelah,” kataku setelah beberapa saat memperhatikanmu.
“Oh, mungkin karena aku baru saja berlari kesini,” jawabmu sambil menyeka peluh yang keluar dari dahimu. “Dan mungkin juga karena bawaanku yang cukup berat,” tambahmu. Aku melirik ke atas meja dan memperhatikan diktat-diktat yang kau bawa, Kau pasti sangat keberatan membawa itu semua.
“Seharusnya kau tidak perlu berlari, cukup berjalan saja. Kau pasti sangat kelelahan membawa diktat tebal itu sambil berlari.”
“Aku tidak mau kau menunggu terlalu lama. Jadi aku harus berlari untuk kesini,” jawabmu masih dengan terseyum. Aku tertegun. Sebegitupedulikah kau terhadapku? Sehingga kau tak memedulikan hal yang lebih mengerikan yang akan terjadi kepadamu?
“Kau tak perlu melakukannya lagi. Kau tahu kan itu dapat membahayakan dirimu?” kataku dengan sedikit nada marah dalam suaraku.
“Maaf,” hanya itu yang kau katakan sebelum akhirnya menundukkan kepalamu.
***
Salju turun semakin deras ketika aku menilik isi cangkirku yang tinggal separuh. Aku masih melayangkan pikiranku untuk mengingat semua kenangan tentang dirimu. Segala tentangmu memang sudah terlalu lekat di ingatanku. Sejak kecil hingga kau akhirnya pergi meninggalkanku lebih dulu, kita selalu bersama-sama. Tidak. Aku salah. Aku tidak bersamamu ketika kau menghembuskan napas terakhirmu. Aku tidak menemanimu ketika kau berjuang untuk tak meninggalkan dunia ini selamanya. Aku minta maaf untuk itu. Aku sangat menyesal karena tak bisa menemanimu di akhir hidupmu, di akhir musim gugur kesukaanmu.
Bel café itu berdenting lagi. Aku menoleh untuk melihat siapa yang datang. Seorang lelaki paruh baya memasuki café. Ia segera memesan sesuatu dan langsung mencari tempat kosong untuk duduk. Dia membuka laptopnya dan menatap layarnya dengan dahi berkerut. Aku mengamatinya sejenak. Dari caranya menatap layar laptopnya itu, sepertinya ia sedang banyak pekerjaan.
Aku mengalihkan pandanganku untuk kembali menatap ke luar jendela. Butiran salju yang turun sudah tidak terlalu deras. Aku menatap isi cangkirku sejenak, kemudian meneguk habis seluruh isinya. Aku beranjak dari tempat dudukku dan menuju kasir untuk membayar kopiku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku melangkahkan kakiku menuju pintu keluar. Aku membuka pintu café itu sehingga bel yang tergantung di atasnya kembali berdenting. Aku berhenti sejenak, menikmati dentingan bel pintu itu sebelum akhirnya benar-benar melangkahkan kakiku keluar café.
Aku membalikkan badanku menatap café itu setelah sampai di luar. Aku mengamati bangunan itu untuk yang terakhir kali. Aku sudah berjanji bahwa ini kali terakhirku mengunjungi tempat itu. Aku tak akan mengunjunginya lagi karena tempat itu terlalu penuh dengan kenangan tentangmu. Biarkan kenangan tentang kita tersimpan rapi di bangunan itu tanpa perlu aku datang lagi untuk mengusiknya.
Aku berjalan gontai meninggalkan tempat itu. Salju kembali turun dengan deras. Kali ini lebih deras dari sebelumnya. Aku melangkahkan kakiku semakin pelan, merasakan tubuhku yang sudah mulai lelah untuk berjalan. Aku duduk di kursi yang dulu menjadi saksi ucapan perpisahanmu kepadaku. Aku menatap pohon yang ditinggalkan daunnya berguguran. Kini pohon itu terselimuti salju tebal di setiap rantingnya. Aku kembali teringat akan peristiwa di akhir musim gugur lalu. Peristiwa yang membuat semangat hidupku benar-benar terenggut. Aku tertunduk dalam. “Di musim gugur berikutnya, mungkin aku sudah kembali berada di sisimu.” Aku tersenyum setelah mengatakannya. Aku bangkit dari dudukku dan kembali meneruskan langkahku. Aku semakin pelan melangkahkan kakiku hingga kemudian aku jatuh terduduk di atas tumpukan salju. Setelah itu, aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada diriku.
-FIN-

Depok, 4 November 2012 at 07.30 PM
ajengmidi

About this blog

Total Pageviews

Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers

Let's Talk

Quelle heure est-il?

Most Viewed

Labels