Le Monde de Midi

Vouloir c'est Pouvoir


Aku masih menggenggam cangkir kopiku erat. Aroma kopi tercium jelas dari asapnya yang masih mengepul. Namun aku lebih memilih untuk menatap butiran salju yang turun dari langit daripada mencicipi rasanya. Ingatanku melayang ke pertengahan musim gugur dua bulan lalu. Saat daun-daun maple mulai meninggalkan dahannya, aku memulai masa-masa sulitku.
“Maafkan aku,” katamu saat kita berjalan bersama di boulevard dekat kampus.
“Maaf? Untuk apa?” aku tak mengerti maksud ucapanmu. Aku tak merasa kau bersalah padaku. Lalu apa gunanya minta maaf?
“Untuk segalanya,” jawabmu sambil mengalihkan pandanganmu menatap guguran daun maple yang berserakan di jalan.
“Maksudmu?” aku semakin tak mengerti maksud pembicaraanmu. Saat itu,kau tidak segera menjawab. Kau terus saja berjalan di sisiku sambil terus memperhatikan guguran daun yang terserak di jalan. Kau masih saja diam. Aku membiarkannya. Aku tak ingin mendengarkan penjelasanmu. Aku terlalu takut untuk mendengarnya.
“Maaf karena aku telah masuk ke kehidupanmu,” kau akhirnya menjawabnya. Aku terhenyak, semakin tak mengerti maksud ucapanmu. Aku menghentikan langkahku dan duduk di kursi yang tersedia di pinggir jalan. Aku benar-benar tak mengerti maksud perkataanmu.
“Kau sama sekali tak bersalah, kenapa harus minta maaf?” tanyaku pelan. Kau menghentikan langkah pelanmu dan berbalik menuju tempatku terduduk lesu. Setelah berdiri untuk beberapa saat, kau mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Kau lihat daun yang berguguran itu?” kau bertanya seraya melayangkan pandangan kosong ke arah daun-daun yang melayang di udara.
“Kenapa dengan daun itu?” aku semakin tak mengerti arah pembicaraanmu.
“Aku akan seperti mereka,” kau menjawabnya dengan suara yang begitu pelan, berharap hembusan angin akan mengalahkan suaramu. Aku bergeming untuk beberapa saat. Aku lalu tersadar akan keadaanmu saat ini. Aku tertunduk lesu, terdiam untuk waktu yang cukup lama.
“Kau pasti bisa melaluinya, chèrie. Kau pasti bisa,” aku mencoba memberikan semangat kepadamu walaupun aku sendiri ragu dengan kalimat yang baru saja aku katakan.
“Tidak semudah itu aku dapat melaluinya,” kau masih menatap dedaunan yang gugur dengan pandangan kosong.
“Aku akan mendampingimu. Aku akan selalu mendampingimu untuk melaluinya,” kataku mantap.
“Tidak. Kau tidak akan bisa. Tidak akan mampu,” kau terdiam sejenak. “Kau juga butuh hidupmu, tak selamanya kau akan selalu di sampingku. Sudah terlalu lama. Kau butuh kehidupanmu sendiri.”
Aku terdiam mendengar ucapanmu. “Tapi ak--”.
“Mulai sekarang, cobalah untuk melepasku dengan perlahan,” kau tertunduk setelah mengatakannya. Aku melihat air mata menggenang di pelupuk matamu saat kau mengatakan kalimat itu.
***
Aku masih menggenggam cangkir kopiku. Kepulan asapnya sudah mulai menghilang. Aku menyeruput kopiku sedikit, menikmati rasanya hingga ia melewati tenggorokanku dan akhirnya masuk ke lambungku. Hangat. Tapi kehangatan kopi itu tak sehangat perasaanku. Sepertinya dingin dan bekunya salju lebih tepat untuk menggambarkan perasaanku.
Andai saja kau masih disini untuk sekadar menemaniku menikmati kopi di café ini, mungkin perasaanku akan berbeda. Namun kenyataannya kau sudah tidak ada disini. Kau sudah pergi dengan membawa serta asaku. Kita sudah terlalu lama bersama-sama sehingga hidup tanpamu terasa tak berguna untukku.
Bel café itu berdenting nyaring, pertanda ada pengunjung yang membuka pintunya. Ucapan selamat datang terdengar ramah dari pemilik café terhadap pengunjung yang baru datang itu. Aku menoleh ke arah pintu sejenak untuk melihat pengunjung yang datang. Ternyata sepasang kekasih. Aku kembali teringat akan kenangan kita saat pertama kali datang ke café ini. Aku tak begitu suka saat kau mengajakku kesini. Aku tak terlalu suka untuk pergi ke tempat-tempat seperti ini. Namun kau mnegubah itu semua. Kau membuatku menyukai tempat ini dan akhirnya menjadikannya tempat favorit kita berdua.
“Kau sudah menunggu lama? Maaf, aku baru saja bertemu profesor untuk mendiskusikan tugas akhirku,” katamu waktu itu, sambil tergesa meletakkan diktat-diktat tebal yang kau bawa ke atas meja sebelum akhirnya kau duduk di kursimu. Aku hanya terdiam, kemudian mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
“Kau marah padaku?” kau bertanya dengan nada takut padaku. Aku masih terdiam. Mana mungkin aku marah padamu? Setiap menatap mata hazelmu, aku tak dapat melakukan apapun. Jadi, mana mungkin aku bisa marah padamu?
Aku mengalihkan pandanganku dan menatap wajahmu. “Aku tidak marah sama sekali,” kataku kemudian. Senyum merekah di wajahmu, membuatku mau tak mau juga ikut tersenyum. “Kau terlihat begitu lelah,” kataku setelah beberapa saat memperhatikanmu.
“Oh, mungkin karena aku baru saja berlari kesini,” jawabmu sambil menyeka peluh yang keluar dari dahimu. “Dan mungkin juga karena bawaanku yang cukup berat,” tambahmu. Aku melirik ke atas meja dan memperhatikan diktat-diktat yang kau bawa, Kau pasti sangat keberatan membawa itu semua.
“Seharusnya kau tidak perlu berlari, cukup berjalan saja. Kau pasti sangat kelelahan membawa diktat tebal itu sambil berlari.”
“Aku tidak mau kau menunggu terlalu lama. Jadi aku harus berlari untuk kesini,” jawabmu masih dengan terseyum. Aku tertegun. Sebegitupedulikah kau terhadapku? Sehingga kau tak memedulikan hal yang lebih mengerikan yang akan terjadi kepadamu?
“Kau tak perlu melakukannya lagi. Kau tahu kan itu dapat membahayakan dirimu?” kataku dengan sedikit nada marah dalam suaraku.
“Maaf,” hanya itu yang kau katakan sebelum akhirnya menundukkan kepalamu.
***
Salju turun semakin deras ketika aku menilik isi cangkirku yang tinggal separuh. Aku masih melayangkan pikiranku untuk mengingat semua kenangan tentang dirimu. Segala tentangmu memang sudah terlalu lekat di ingatanku. Sejak kecil hingga kau akhirnya pergi meninggalkanku lebih dulu, kita selalu bersama-sama. Tidak. Aku salah. Aku tidak bersamamu ketika kau menghembuskan napas terakhirmu. Aku tidak menemanimu ketika kau berjuang untuk tak meninggalkan dunia ini selamanya. Aku minta maaf untuk itu. Aku sangat menyesal karena tak bisa menemanimu di akhir hidupmu, di akhir musim gugur kesukaanmu.
Bel café itu berdenting lagi. Aku menoleh untuk melihat siapa yang datang. Seorang lelaki paruh baya memasuki café. Ia segera memesan sesuatu dan langsung mencari tempat kosong untuk duduk. Dia membuka laptopnya dan menatap layarnya dengan dahi berkerut. Aku mengamatinya sejenak. Dari caranya menatap layar laptopnya itu, sepertinya ia sedang banyak pekerjaan.
Aku mengalihkan pandanganku untuk kembali menatap ke luar jendela. Butiran salju yang turun sudah tidak terlalu deras. Aku menatap isi cangkirku sejenak, kemudian meneguk habis seluruh isinya. Aku beranjak dari tempat dudukku dan menuju kasir untuk membayar kopiku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku melangkahkan kakiku menuju pintu keluar. Aku membuka pintu café itu sehingga bel yang tergantung di atasnya kembali berdenting. Aku berhenti sejenak, menikmati dentingan bel pintu itu sebelum akhirnya benar-benar melangkahkan kakiku keluar café.
Aku membalikkan badanku menatap café itu setelah sampai di luar. Aku mengamati bangunan itu untuk yang terakhir kali. Aku sudah berjanji bahwa ini kali terakhirku mengunjungi tempat itu. Aku tak akan mengunjunginya lagi karena tempat itu terlalu penuh dengan kenangan tentangmu. Biarkan kenangan tentang kita tersimpan rapi di bangunan itu tanpa perlu aku datang lagi untuk mengusiknya.
Aku berjalan gontai meninggalkan tempat itu. Salju kembali turun dengan deras. Kali ini lebih deras dari sebelumnya. Aku melangkahkan kakiku semakin pelan, merasakan tubuhku yang sudah mulai lelah untuk berjalan. Aku duduk di kursi yang dulu menjadi saksi ucapan perpisahanmu kepadaku. Aku menatap pohon yang ditinggalkan daunnya berguguran. Kini pohon itu terselimuti salju tebal di setiap rantingnya. Aku kembali teringat akan peristiwa di akhir musim gugur lalu. Peristiwa yang membuat semangat hidupku benar-benar terenggut. Aku tertunduk dalam. “Di musim gugur berikutnya, mungkin aku sudah kembali berada di sisimu.” Aku tersenyum setelah mengatakannya. Aku bangkit dari dudukku dan kembali meneruskan langkahku. Aku semakin pelan melangkahkan kakiku hingga kemudian aku jatuh terduduk di atas tumpukan salju. Setelah itu, aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada diriku.
-FIN-

Depok, 4 November 2012 at 07.30 PM
ajengmidi



Semilir angin mengibarkan rambut panjangnya. Ia masih duduk termenung memandang langit. Sedari tadi, aku sudah memerhatikannya dari tempatku berdiri sekarang. “Dia cantik,” gumamku lirih. Entah sejak kapan aku mulai menyukainya. Yang pasti, setiap pulang sekolah aku selalu menunggunya di gerbang sekolah, dan secara diam-diam mengikutinya ke tempat ini, sebuah padang rumput di dekat bukit. Aku selalu memerhatikannya dari atas sini, di bawah pohon rindang di tepi jalan setapak menuju padang rumput itu. Aku tak berani turun untuk menemuinya. Hanya memerhatikannya saja, itu sudah cukup bagiku.
***
Waktu bergulir begitu cepat. Ternyata sudah satu tahun aku menyimpan sendiri perasaanku. Aku ingin menyampaikan padanya, tapi bagaimana mungkin? Aku terlalu pengecut dalam hal ini. Walaupun sudah kukumpulkan keberanian untuk mengatakan padanya, aku tetap tak mampu melakukannya. Dan keadaan ini diperparah dengan hadirnya orang lain di dekatnya. Yah, dia sudah memiliki seseorang sekarang. Aku memang sedikit terlambat. Bukan hanya sedikit, aku memang benar-benar terlambat untuk menyampaikan perasaanku kepadanya. Akan tetapi, hal tersebut tak mengubah kebiasaanku. Aku masih secara diam-diam mengikutinya pergi ke padang rumput sepulang sekolah. Aku masih tetap pada tempatku, di bawah pohon rindang di tepi jalan setapak. Dan aku merasa lega karena ia tak pernah membawa teman laki-lakinya itu ke tempat ini. Akhirnya aku menganggap bahwa tempat ini merupakan tempat favorit kami berdua. Mungkin hanya aku yang menganggap demikian. Bahkan dia pun tak tahu kalau aku selalu mengikutnya ke tempat ini. Jadi mana mungkin dia menganggap bahwa tempat ini merupakan favorit kami berdua, kan?
***
Aku termenung duduk di bangkuku. Berkali-kali kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah hampir jam delapan, kenapa dia belum juga muncul? Mungkinkah ia tak masuk hari ini? Tetapi kenapa? Bukankah ia baik-baik saja kemarin? Bahkan ia masih mengunjungi padang rumput di dekat bukit. Tidak mungkin ia sakit hari ini. Aku terus mencemaskannya  hingga bel masuk akhirnya berdering. “Ah, mungkin ia terlambat,” batinku, lebih untuk menenangkan diriku sendiri. Namun harapanku pupus setelah bel istirahat akhirnya berdering. Ia tak masuk hari ini. Tetapi kenapa? Aku terus memikirkannya hingga akhirnya jam sekolah usai.
Aku pulang dengan mengayuh sepedaku. Sebenarnya aku ingin langsung pulang. Namun entah kenapa aku berkeinginan untuk ke padang rumput dahulu. Aku berharap dapat menemukannya di sana. Namun segera kusergah pikiran itu. Hari ini saja ia tak masuk, jadi mana mungkin ia pergi ke padang rumput? Setelah mengayuh untuk beberapa lama, akhirnya aku sampai di tempat itu. Aku menuju tempatku biasa berada. Belum sempat aku duduk di sana, pandanganku menangkap seseorang di tempat biasanya ia berada. Seorang gadis menggunakan blouse berwarna biru muda sedang duduk di sana. Aku meyakinkan pandanganku dengan mengerjap-ngerjapkan mataku untuk beberapa saat. Namun, tetap saja gadis itu yang nampak di sana. “Kenapa ia di sini?” gumamku lirih. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sehingga aku tak menyadari ia sudah meninggalkan tempat dimana ia duduk. Dan sekarang ia berada di hadapanku. Ya, dia benar-benar di hadapanku. Jantungku tiba-tiba berdegup sangat cepat. Rasanya seperti ia akan meninggalkan rongga dadaku. Aku hanya memandangnya sebelum akhirnya tersenyum. Kaku.
“Kau juga sering ke sini?” ia membuka pertanyaan.
“Ehm, i..iya,” jawabku terbata-bata sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Sejak kapan?” tanyanya lagi.
Ya Tuhan, haruskah aku menjawab pertanyaannya yang satu ini? Bagaimana kalau dia curiga? Bagaimana jika dia akhirnya tahu bahwa selama setahun belakangan ini aku selalu membuntutinya ke tempat ini? “Eh.. sekitar satu tahun yang lalu,” jawabku jujur dengan menundukkan kepalaku. Malu.
“Aku tahu.”
“Eh?” aku mengangkat kepalaku. Terkejut dengan pernyataannya.
“Iya, aku mengetahuinya,” katanya penuh keyakinan.
“Te..tet..tapi bagaimana?” tanyaku gugup.
“Entahlah, tapi aku mengetahuinya. Kau selalu menungguku di gerbang sekolah dan secara diam-diam mengikutiku untuk pergi ke tempat ini. Dan di sinilah tempatmu selalu duduk untuk menungguiku sampai aku pulang,” jawabnya.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa tertunduk malu dan merasa bersalah karena tanpa sepengetahuannya, aku mengikuti gadis itu selama ini.
“Hei, kenapa kau menunduk?” tanyanya sambil memegang pundakku. Aku mengangkat kepalaku, dan senyum itu sedang terkembang. Ya Tuhan, baru kali ini aku melihatnya tersenyum selepas itu. Walaupun berada di kelas yang sama, aku belum pernah melihatnya tersenyum sekali pun. Ia memang anak yang sedikit tertutup. Aku terkadang heran, anak seperti dia bisa mendapatkan pacar. Padahal ia jarang sekali terlihat berkumpul dengan anak-anak lain. Walaupun begitu, toh aku tetap menyukainya.
“Maafkan aku,” jawabku setelah beberapa saat terdiam.
“Maaf? Untuk apa?” tanyanya heran.
“Karena aku telah mengikutimu secara diam-diam selama ini,” aku tertunduk lagi.
“Hei, kau tak bersalah. Jadi untuk apa meminta maaf? Aku juga tidak terganggu denganmu yang selalu mengikutiku ke tempat ini,” ia tersenyum lagi.
“Eh, terima kasih,” aku memandangnya. Tersenyum. “Kenapa kau tak masuk hari ini? Kau tidak sakit kan?” tanyaku dengan nada sedikit khawatir.
Dia tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia mengambil posisi duduk di bawah pohon tempat kami berdiri. Aku mengikutinya dan duduk di sampingnya. Ia memandang ke arah padang rumput dengan pandangan yang sedikit kosong. Aku masih terus memerhatikannya, menunggu jawabannya.
“Aku sudah keluar dari sekolah,” katanya setelah terdiam beberapa lama dengan suara sepelan mungkin. Aku yakin, ia ingin menangis saat mengatakan hal itu. Suaranya terdengar tercekat di tenggorokan.
“Kenapa?” aku bertanya padanya. Juga dengan suara tak kalah pelan.
Ia terdiam lagi. Sepertinya ia sangat berat untuk mengatakan hal ini. Seperti ada sesuatu di tenggorokannya yang mencekat suaranya untuk keluar. Aku ikut terdiam. Lama kami melakukan hal tersebut. Hanya semilir angin dan suara gemerisik rerumputan yang terdengar di telingaku. Aku menatapnya sejenak. Ia masih memandangi langit sore yang berwarna jingga kemerahan. Pandangannya masih nampak kosong. Ia juga belum menjawab pertanyaanku. Sudah sekitar lima belas menit sejak aku mengajukan pertanyaan itu. Entah apa yang membuatnya seperti tak mau menjawab pertanyaanku.
“Sudahlah jika kau tak mau menjawabnya,” kataku kemudian.
“Tidak… A-aku harus pergi ke Melbourne,” jawabnya lemah. Ia tertunduk lesu. Sepertinya ia benar-benar ingin menangis kali ini.
“Melbourne? Kapan? Kenapa?” aku memberondongnya dengan pertanyaanku. Aku sangat terkejut dengan hal yang ia katakan. Ia tak segera menjawab. Kini isakan mulai terdengar dari mulutnya. Ia masih bungkam untuk menjawab. Mungkin dia belum ingin menjawabnya atau memang tak ingin menjawabnya? Entahlah. Kenapa aku jadi merasa seperti ini? Kenapa aku justru merasa tidak rela jika dia harus pergi dari sini? Dari sisiku. Hari beranjak petang. Matahari hanya tinggal menampakkan semburat sinar jingganya membuat pendar warna oranye di langit dan awan sore hari. “Sebaiknya kita pulang, ayo aku antar ke rumahmu,” ajakku kemudian. Ia hanya mengangguk dan meraih tanganku untuk digandengnya. Aku mengantarnya pulang dengan sepedaku. Kami hanya diam selama perjalanan, tak sepatah kata pun keluar dari mulut kami berdua.
“Kau tidak masuk dulu?” dia menawariku untuk singgah sebentar di rumahnya. Tapi hari sudah semakin gelap, aku menolaknya dengan halus. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika aku terlalu lama bersamanya hari ini. Mungkin aku tak akan mengijinkannya pergi esok hari. Lebih tepatnya pergi dari sisiku.
“Hati-hati di jalan,” ia berpesan kepadaku.
“Istirahatlah, besok kau harus berangkat,” kataku sambil beranjak pulang menuntun sepedaku. Aku tak berani memandang wajahnya. Aku takut tak bisa melepaskannya pergi. Tanpa kusadari ternyata air mata telah menetes dari kedua pelupuk mataku. Memang aku bukan siapa-siapa untuknya. Tapi tak bolehkah aku merasa tidak rela jika ia pergi? Dan satu lagi, aku belum mengatakan perasaanku padanya. Mungkin hal satu ini tak perlu kukatakan. Cukup aku dan Tuhan yang mengetahuinya. Aku tak mau membebaninya di saat seperti ini.
***
Kabut masih menggelayut di sekitar bukit ketika aku bangun dari tidurku. Suara cicit burung sudah mulai terdengar menyambut pagi. Perlahan-lahan sang surya pun keluar dari peraduannya. Aku termenung sejenak sebelum beranjak dari tempatku. Aku merindukannya. Sudah cukup lama sejak kepergiannya ke Melbourne aku tak mendapat kabar darinya. Seperti apa dia sekarang? Masihkah senyum manis itu melekat di bibirnya? Aku merindukan segalanya darinya.
***
Aku masih berkutat dengan kameraku untuk mencari objek ketika tak sengaja aku sampai ke tempat dimana dulu kami sering menghabiskan waktu sepulang sekolah. Tempat ini masih sama. Hanya sekarang sudah lebih terawat sehingga pemandangan di sana pun semakin bagus. Pohon rindang dimana aku sering menungguinya pun masih kokoh berdiri di tepi jalan setapak menuju padang rumput itu. Andai dia masih di sini, mungkin kami akan setiap hari mengunjungi tempat ini bersama. Atau mungkin tidak, karena dia mungkin akan mengajak orang lain ke tempat ini. Entahlah.
Aku beranjak turun ke padang rumput di bawah. Selama aku mengikutinya ke sini, belum satu kali pun aku turun ke tempat ini. Aku selalu memerhatikannya dari bawah pohon di tepi jalan. Ternyata ada semacam sungai kecil di sini. Aku segera mengambil kameraku untuk mengabadikan pemandangan indah itu. Aku duduk di tepi sungai dan mencelupkan kakiku kedalamnya. Dingin. Sedingin hatiku yang merindukan kehadirannya kembali. Aku menengadahkan wajahku ke langit. Matahari sudah berada di ufuk barat bersiap pulang ke peraduannya. Aku teringat saat ia mengatakan perpisahan itu. Ia pun belum mengatakan alasannya untuk pergi. Itu salahku jika tak mengetahui alasannya untuk pergi karena aku tak datang saat ia akan berangkat. Aku takut aku tak bisa melepaskannya pergi. Dan aku lebih memilih untuk pergi ke tempat ini daripada harus bertemu dengannya yang akhirnya aku pun tak dapat menemuinya lagi.
Aku masih memandangi langit sore. Mengingat wajahnya yang selalu tersenyum setiap ia memandang langit. Sepertinya ia akan merasa damai jika memandang langit. Aku pun demikian. Sama sepertinya, langit membuatku merasa damai.
Di langitku sekarang, angkasa berlatar belakang merah muda. Setitik cahaya terkecil di sana adalah bintang terindah untukku. Apakah kau sedang menatap langit yang sama di sana? Dan apakah pula bintang terindahku tertatap olehmu?

FIN

Depok, 10 Oktober 2012 at 10.40 PM


Aku dilahirkan di sebuah kota kecil di Propinsi Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Purworejo pada 24 Desember 1994. Aku diberi nama Ajeng Lestari Midi Setyoputri oleh orang tuaku. Kau dapat memanggilku Ajeng. Aku beralamatkan di Desa Brunorejo RT 02 RW 04 Kecamatan Bruno Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Awal pendidikanku bermula dari sebuah sekolah dasar di dekat tempat tinggalku, tepatnya di SD Negeri 02 Bruno. Di sekolah dasar ini prestasiku juga bermula. Aku selalu mendapat peringkat pertama, mulai dari kelas satu sampai dengan kelas enam. Bahkan untuk peringkat ujian nasional pun demikian. Setelah menamatkan sekolah dasar, aku melanjutkan ke SMP Negeri 21 Purworejo. Di SMP ini pun prestasi atas peringkat satuku masih tetap dapat dipertahankan. Di  SMP ini pula aku mulai mengenal kehidupan berorganisasi seperti OSIS dan kepramukaan. Aku turut serta dalam kedua organisasi tersebut, di OSIS aku terpilih menjadi ketua, sementara di kepramukaan aku hanya menjadi anggota. Setelah menamatkan SMP, aku melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 7 Purworejo. Ketika bersekolah di sekolah tersebut, aku mulai belajar hidup mandiri karena harus hidup terpisah dengan orang tua atau dengan kata lain kos. Hanya seminggu sekali aku pulang ke rumah.
Di SMA ini, prestasiku sempat menurun saat berada di kelas satu. Saat penerimaan rapor, hanya peringkat tiga yang kudapatkan. Mungkin karena kehidupan di SMA sangat berbeda jauh dengan kehidupan di SMP sehingga membuatku masih merasa sulit untuk beradaptasi dan akhirnya membuat prestasiku sempat menurun. Namun itu tidak bertahan lama, karena di kelas dua, prestasiku kembali lagi seperti semula. Aku masuk di jurusan Bahasa saat itu. Aku memilih jurusan Bahasa karena di kelas ini aku akan dapat mempelajari lebih banyak bahasa asing, selain itu juga dapat mengetahui banyak kebudayaan yang terdapat di Indonesia maupun di negara luar. Aku memang senang mempelajari bahasa asing dan kebudayaan, jadi aku memutuskan untuk masuk jurusan Bahasa ini. Awalnya, sebelum aku masuk jurusan ini, banyak teman-temanku yang mengejek karena menurut mereka di jurusan bahasa akan sulit mendapatkan perguruan tinggi untuk melanjutkan sekolah. Namun aku tak pernah memedulikan kata-kata mereka. Aku tetap teguh pada prinsipku untuk tetap masuk jurusan Bahasa, dan sekarang aku dapat membuktikannya. Aku dapat berprestasi melalui jurusan Bahasa.
Penghujung kelas tiga pun sudah akan tiba. Ujian Nasional sudah berada di depan mata. Namun, sebelum ujian dilaksanakan, ada sebuah seleksi masuk perguruan tinggi yang dinamakan SNMPTN Undangan. Alhamdulillah, setelah mengecek beberapa syaratnya aku dapat mengikuti seleksi ini. Pendaftaran dan pengisian tujuan universitas dan jurusan pun dilakukan. Sebelum pemilihan jurusan ini, aku berdiskusi terlebih dahulu dengan kedua orang tuaku. Sempat terjadi perdebatan dalam pemilihan universitas dengan ibuku. Aku ingin melanjutkan ke universitas yang sudah aku impikan semenjak duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, Universitas Indonesia. Sementara ibuku ingin aku melanjutkan di sebuah universitas di Yogyakarta. Alasan ibuku memilih universitas tersebut hanya sepele, agar tidak terlalu jauh dari rumah dan agar aku bisa lebih sering untuk pulang ke rumah. Namun aku tetap bersikukuh dengan pilihanku itu. Setelah melalui perundingan yang cukup lama dan meminta pendapat dari banyak pihak, akhirnya aku diijinkan untuk memilih Universitas Indonesia sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikanku.
Saat pendaftaran SNMPTN tersebut aku mendaftarkan diri pada dua universitas, yaitu Universitas Indonesia dengan mengambil jurusan Satra Perancis dan Sastra Rusia, sementara universitas lainnya aku memilih salah satu universitas di kota Solo.
Setelah proses penantian yang cukup lama, akhirnya pengumuman SNMPTN pun keluar. Sebelumnya aku tidak tahu kalau pengumumannya ternyata dimajukan satu hari. Temanku lah yang memberitahuku dan dia juga yang mengecek pengumumanku terlebih dahulu, dia mengatakan jika aku diterima di Universitas Indonesia jurusan Sastra Perancis. Aku belum percaya sepenuhnya sehingga aku meminta bantuan temanku yang lain untuk mengeceknya lagi. Mereka juga bilang hal yang sama. Akhirnya, karena rasa tidak percayaku, aku membuka sendiri pengumuman itu. Dan Alhamdulillah memang benar aku diterima di Sastra Perancis Universitas Indonesia. Ucapan syukur tak henti-hentinya keluar dari mulutku dan kedua orang tuaku. Hari itu menjadi hari yang paling tak terlupakan, karena selain mengetahui pengumuman bahwa aku diterima di UI, di hari itu pula aku diwisuda oleh sekolah dan mendapat penghargaan sebagai peraih peringkat pertama pada nilai UAN dan nilai sekolah dari jurusan Bahasa. Aku telah mengukir berbagai prestasi dalam hidupku, tepat di hari itu, 26 Mei 2012.
Setelah mengetahui bahwa aku diterima, aku langsung mencari berbagai informasi untuk persyaratan daftar ulang. Aku mencari informasi dari teman-temanku dari Purworejo yang juga diterima di UI dan kakak kelas yang sudah kuliah di sana. Setelah berbagai persyaratan untuk daftar ulang yang cukup rumit terpenuhi, aku dan teman-temanku dari Purworejo berangkat bersama-sama ke Depok untuk melaksanakan daftar ulang di Universitas Indonesia. Di sana kami semua tinggal di kos maupun di kontrakan kakak kelas kami yang ada di sana. Kebetulan mahasiswa Purworejo yang ada di UI mempunyai sebuah paguyuban yang bernama KOMPOR (Komunitas Mahasiswa Purworejo) dan itu sangat membantu bagi kami sebagai mahasiswa baru untuk mendapatkan informasi dari UI.
Setelah proses daftar ulang selesai, kami segera kembali ke Purworejo untuk mempersiapkan berbagai hal untuk mengikuti pelaksanaan kegiatan mahasiswa baru (KAMABA) yang akan segera dilaksanakan.
Betul-betul sebuah perjuangan untukku agar bisa masuk ke kampus perjuangan ini. Mulai dari aku hanya bermimpi untuk masuk universitas ini, hingga aku sekarang benar-benar diterima di sini. Di sebuah kampus yang dikenal dengan sebutan Kampus Perjuangan, Universitas Indonesia. Dan tentu saja perjuanganku belum berakhir sampai di sini. Masih ada banyak perjuangan agar aku dapat lulus dari universitas ini, juga perjuangan untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan hidup hingga akhirnya dapat mencapai kesuksesan yang aku inginkan.


Iseng, nyoba ikutan



Greed:Very Low
Gluttony:Medium
Wrath:Low
Sloth:High
Envy:Very Low
Lust:Low
Pride:Medium

Discover your sins ~ Click Here



28 Agustus 2012 merupakan puncak acara OKK (Orientasi Kehidupan Kampus) Universitas Indonesia 2012. Acara OKK hari terakhir ini asyik banget. Di dalemnya kita para maba (mahasiswa baru) disuguhi berbagai acara yang bermanfaat antara lain talkshow dengan tokoh-tokoh inspiratif Indonesia. Yap, dalam talkshow ini menghadirkan banyak sekali tokoh inspiratif kayak Kak Elang Gumilang, seorang pengusaha muda, Pak Fadli Zon (Politikus), ada Pak Raden yang nyiptain boneka unyil, dan yang paling menarik adalah dengan kehadiran menteri BUMN kita, siapa lagi kalo bukan Pak Dahlan Iskan.
Di acara talkshow ini, mereka berpesan kepada para maba buat terus belajar, berkarya, dan berkontribusi buat ngemajuin negara tercinta kita ini.
Selain acara talkshow ada juga pengenalan tentang lembaga IKM UI kayak BEM, DPM, WMA, de el el. pokoknya acaranya seru banget deh.
Di akhir acara kita sebagai maba ditantangin untuk ngebentuk gambar logo OKK dari lilin menyala yang dikasih sama kakak-kakaknya. dan itu bener-bener suatu perjuangan, karena kita harus kompak dan saling kerja sama buat ngebentuk lambang OKK itu. Yah, walopun gue nggak berpartisipasi ikut ngebentuk itu lambang gara-gara kondisi badan yang nggak fit, tapi gue bener-bener bisa ngerasain perjuangan temen-temen maba buat ngebentuk itu lambang dalam waktu 10 menit pada kesempatan kedua, untuk kesempatan pertama kita gagal buat ngebentuk itu lambang. ini nih hasil kerja keras maba 2012. salut deh buat temen-temen semua :D


Yah, itu hanya sekelumit cerita dari rangkaian kegiatan OKK UI 2012. Semoga dengan acara ini, dapat membantu para maba buat ngejalanin kehidupan kampus di tahun-tahun berikutnya. Aamiin :D

Annyeong haseyo chingudeul..
setelah lama posting nothing di sini akhirnya saya bisa posting lagi.
Ini FF pertama saya, mian kalo aneh. Soalnya baru kali ini nyoba bikin FF. Trima kritik, saran, dan masukan kok.
kamsahamnida..
Selamat membacaa :)

Tittle : Annyeong Jong Woon Oppa
Author : Ajeng Lestari
Cast : Aglaya, Andre, Yesung, dan member SJ lainnya
NC : Tentuin sendiri aja. Yang penting bagi yang masih 17 ke bawah belum di anjurkan membaca :p




ANNYEONG JONG WOON OPPA

Aglaya memejamkan matanya dan mencengkeram erat kursi pesawat saat ia merasakan pesawat mulai bergerak turun dan akan landing di lapangan bandara. Ia paling membenci bagian take off dan landing karena ia merasa seluruh isi perutnya akan keluar saat ia melewati bagian ini walaupun sebenarnya ia sangat menyukai naik pesawat dibandingkan naik transportasi yang lain. Akhirnya setelah beberapa saat merasakan sensasi landing Aglaya merasa lega karena pesawat mendarat dengan mulus. Ia kemudian menoleh ke arah kakak yang duduk di sebelahnya dan kemudian bertanya dengan memasang wajah tak percaya, “kita beneran di Korea, Kak?”.
Kakaknya hanya menoleh sesaat lalu mengedikkan bahunya, “entahlah, kau pikir saja sendiri,” jawabnya asal kemudian ia bangkit dari kursinya dan mulai berjalan keluar dari pesawat tanpa mengajak adiknya untuk turun bersama. Benar-benar kakak yang sangat cuek.
Aglaya tak menyadari jika kakaknya sudah mulai berjalan keluar pesawat karena dia masih bengong setelah mendengar jawaban dari kakaknya itu.
“Ya, Oppa! Tunggu aku,” teriaknya sesaat setelah ia kembali ke dunia nyatanya. Ia segera berlari menyusul Andre, kakaknya. “Ya, Oppa!” panggilnya lagi. Kali ini Aya berhasil mensejajari langkah Andre dan mengikuti langkahnya sambil terengah-engah. “Oppa, kenapa kau meninggalkanku?” tanyanya dengan nada sedikit kesal. Namun yang ditanya sama sekali tidak menjawab dan malah mempercepat langkahnya. “Ya, Oppa! Kenapa kau diam saja? Ayo jawab pertanyaanku, kenapa kau meninggalkanku tadi?” namun Andre tetap tidak menjawab walaupun Aya terus saja merengek bertanya. “Oppa! Oppa!”
Andre kemudian menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Aglaya dengan memasang wajah kesal karena tak tahan mendengar rengekan adiknya itu. “Berhentilah memanggilku ‘Opa’! Aku ini Kakakmu, bukan Opamu.” Dia kemudian memutar badannya dan berjalan dengan langkah yang lebih cepat karena udara terasa semakin menusuk tulang.
Aglaya hanya terbengong setelah mendengar perkataan kakaknya dan kemudian ia tertawa sambil berlari mengejar kakaknya,  berusaha mensejajari langkah kakaknya yang panjang dan cepat.
“Hei aku tidak memanggilmu dengan sebutan ‘opa’ tapi ‘oppa’, double ‘p’ Kak. Ini kan di Korea jadi aku harus memanggilmu dengan sebutan ‘oppa’,” jelas Aglaya sambil nyengir menunjukkan deretan giginya yang kecil dan rapi.
“Kau ini benar-benar…” Andre hanya mendelikkan mata lalu kembali berjalan cepat. Kali ini ia menyeret lengan adiknya agar tak tertinggal oleh langkah panjangnya.
Mereka mengantre di bagian imigrasi untuk mengurus dokumen kedatangan mereka sekaligus mengambil barang-barang yang mereka bawa setelah selesai diperiksa di bagian keamanan. Mereka berdua melewati lobi bandara dengan langkah cepat karena waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam dan mereka harus sudah tiba di apartemen pukul sepuluh malam jika tidak ingin mati beku di luar. Udara musim dingin di Korea memang sangat ganas. Apalagi jika sudah lewat pukul sepuluh malam. Kau dapat mati beku jika kau terus  saja berada di luar ruangan.
Aglaya memandangi lobi bandara dengan tatapan takjub. Arsitektur Bandara Incheon memang sungguh mengesankan. Lobi Incheon sangatlah luas dan ditata dengan apik oleh arsiteknya. “Wah, it’s so amazing! Bandaranya nggak kaya di Indonesia ya, Kak? Aku belum pernah melihat bandara semewah ini sebelumnya. Banyak alat-alat canggih di sini.” Aglaya terus saja ngoceh dan pandangannya masih berputar-putar mengelilingi Incheon.
Andre hanya diam saja, tidak menanggapi perkataan adiknya dan ia terus saja berjalan cepat sambil menyeret lengan Aglaya menuju deretan taksi yang dengan setia menunggu penumpang keluar dari Incheon untuk pulang ke apartemennya.
                                                                           ***
“Annyeong haseyo,” Aglaya dengan ceria mengucapkan salam kepada setiap orang yang dijumpainya di jalan. Ini adalah hari pertama Aglaya berada di Korea. Ia sedang berjalan-jalan di sekitar apartemen kakaknya di kawasan Gwangjin. Dia beruntung sekali memiliki kakak yang tinggal di salah satu kawasan elit di Korea tersebut.  Ia berharap dengan berjalan-jalan di sekitar kawasan Gwangjin ini, ia dapat bertemu dengan idolanya Yesung ‘SJ’. Tapi setelah dipikir-pikir rasanya tak mungkin dapat bertemu salah satu member SJ tersebut. Ia pasti sangat sibuk dengan schedule yang dimilikinya. Jadi mana mungkin ia punya waktu luang hanya untuk berjalan-jalan di sekitar kawasan pertokoan di Gwangjin.
Aglaya masih saja berputar-putar di kawasan Gwangjin. Dia menikmati pagi musim dingin pertamanya di Korea. Udaranya tidak sedingin udara semalam. Walaupun kakaknya sudah menyalakan ondol atau penghangat ruangan, ia tetap saja merasa kedinginan dan akhirnya dia tidur menggunakan dua lapis selimut tebal. Mungkin dia belum terbiasa merasakan udara musim dingin karena terang saja selama ini dia tinggal di Indonesia, negara yang hanya memiliki dua macam musim sepanjang tahunnya.
Setelah dirasa cukup lelah berjalan, ia akhirnya memasuki salah satu toko di kawasan tersebut. Ia berniat membeli syal dan mantel musim dingin karena syal dan mantel yang ia miliki di sini hanya sedikit dan itu pun sudah cukup usang. Dia berjalan menuju jajaran syal dan langsung tertarik dengan syal berwarna merah yang dipadu warna hitam kesukaannya. Kebetulan sekali ia menemukan syal cantik itu, merah adalah favorit Yesung sementara hitam warna favoritnya. Cocok sekali. Aglaya tersenyum simpul dan dengan cekatan dia mengambil syal tersebut sebelum didahului orang lain karena itu hanya tinggal satu-satunya.
Tanpa menunggu waktu lagi ia segera menghambur ke jajaran mantel. Dia terlihat bingung memilih mantel karena model yang ditawarkan begitu cantik dan lucu sehingga membuat si pembeli kebingungan untuk memilih dan membuat mereka ingin membeli semuanya. Tentu saja Aglaya tidak bisa untuk membeli semuanya karena uang yang diberikan kakaknya sangat sangat terbatas. Akhirnya setelah hampir menghabisan waktu selama tiga puluh menit, ia memutuskan untuk membeli mantel berwarna kulit sapi dan satu lagi berwarna merah muda.
Setelah membayar barang belanjaannya tersebut, ia segera keluar dan kembali ke apartemen kakaknya. Sebelumnya ia berpikir akan mampir ke sebuah coffee shop untuk mengisi perutnya yang sedari pagi belum terisi. Tapi kemudian ia memutuskan untuk sarapan di apartemen saja karena ia tahu kakaknya akan memarahinya jika ia terlalu lama di luar. Maklum, kakaknya takut adiknya tersesat karena ia belum mengenal persis kawasan tersebut.
Aglaya berjalan dengan langkah cepat karena udara terasa semakin dingin. Cuaca kadang memang tidak bisa diprediksi. Dia mulai menggigil kedinginan karena dia nekat hanya menggunakan satu lapis baju hangat. Dia juga lupa mengenakan sarung tangan dan akibatnya tangan yang menggenggam kantung belanjaan tersebut mulai membeku. Hidungnya juga mulai kelihatan memerah karena dinginnya cuaca. Ia semakin mempercepat langkahnya agar segera sampai di apartemen. Namun di tengah perjalanan pulangnya, tiba-tiba ia merasa pusing dan badannya terasa sangat lemah. Ia tahu, gejala dehidrasinya kambuh karena tadi pagi, selain tidak sarapan ia juga belum sempat minum. Dehidrasinya akan cepat kambuh apabila ia terlalu banyak berjalan, apalagi ditambah dengan kondisi cuaca yang dingin yang mengakibatkan tubuh lebih cepat mengalami penguapan untuk menjaga stabilitas kehangatan di dalam tubuh yang tentunya akan mempercepat terjadinya gejala dehidrasi.
Aglaya masih saja berjalan dengan kondisinya yang sudah mulai pucat. Ia tidak berniat berhenti untuk sekadar membeli minuman yang tentunya dapat membantunya untuk mengurangi dehidrasi yang ia alami. Ia terus saja berjalan dan semakin mempercepat langkahnya agar segera sampai di apartemen kakaknya. Namun karena kondisi tubuhnya yang semakin lemah, ia akhirnya terhuyung sebelum akhirnya menjatuhkan seluruh badannya di jalan di atas tumpukan salju yang semakin menebal.
                                                                           ***
Aglaya mengerjap-ngerjapkan matanya sambil memandang aneh seluruh ruangan yang berwarna serba putih tersebut. Ia tidak tahu sedang berada dimana dan tidak menyadari tentang kondisi terakhirnya.
“Oh, kau sudah sadar?” tanya seseorang yang sedari tadi menungguinya dengan Bahasa Korea.
Aglaya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut yang ternyata berasal dari seorang pria bertopi yang memakai mantel hitam yang dengan setia menungguinya sambil duduk di sebelah ranjangnya.
“Oh, mwo?” tanya Aglaya dengan bingung, ia tidak terlalu mengerti bahasa korea. “Uhm, jwiseonghamnida, could you speak English? I don’t speak Korean well,” lanjutnya sambil tersenyum malu.
Pria itu segera mengangguk mengerti. “Of course. What’s your name? and why you could be like this?” tanya pria itu kemudian.
“Aglaya, or  just call me Aya. Ehm, I got dehydration because I forget to drink some water this morning.”
“Ah, kau sengaja membahayakan nyawamu? Kau tahu ini musim dingin, kenapa kau tak memperbanyak cairan untuk tubuhmu?”
“Sorry, aku hanya terlalu excited untuk menikmati pagi pertamaku di Korea,” ungkapnya sambil membela diri. Ia berpikir kenapa orang ini memarahinya, padahal mereka baru saja kenal. Cerewet sekali. Orang itu juga dari tadi tidak membuka topinya. Sangat tidak sopan berbicara dengan seseorang di dalam ruangan dengan muka yang sepertinya sengaja disembunyikan dari pandangan orang lain. “By the way, what’s your name?” lanjut Aya setelah terdiam beberapa saat.
Pria itu terkesan ragu-ragu untuk mengatakan namanya. Ia terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya ia membuka topi yang dikenakannya selama ini. Ia kemudian menatap wajah Aglaya sambil tersenyum. “You’ve known who I am, right?”
Aglaya membelalakkan matanya lalu memejamkannya dan membuka matanya lagi. Ia menepuk dan mencubit pipinya berharap ia hanya bermimpi. Tapi kemudian ia mengaduh karena merasakan sakit yang berarti itu bukan mimpi. Ia belum memercayai pandangannya itu. Ia kemudian memejamkan matanya dan membukanya lagi. Namun penglihatannya tetap masih sama. Pria dengan mata sipit, pipi cukup chubby dan senyum yang sangat menawan duduk tegak di sampingnya. Ia kemudian tersadar bahwa itu bukanlah mimpi. Itu kenyataan.
“E-eh-ehm Ye-sung-ssi?” tanyanya terbata-bata seakan tidak percaya dengan orang yang dihadapinya.
“Ne, Yesung imnida,” jawab pria itu sambil mengembangkan senyumnya dan sedikit membungkukkan badan.
***
“Oppa, kita mau kemana?” tanya Aglaya di tengah perjalanannya bersama Yesung.
“Ke dorm,” jawab Yesung singkat.
“Dorm? Tapi aku belum ijin kakakku untuk pergi denganmu,Oppa. Bisa-bisa aku bakal kena marah kalo dia tahu aku pergi tanpa seijinnya dan bla bla bla,” Aglaya mengoceh panjang lebar.
Yesung hanya tersenyum mendengar ocehan yang dilontarkan Aglaya kepadanya. Ia kemudian mendekati Aglaya lalu meraih satu tangannya dan menariknya kembali masuk ke apartemen. “Kalau begitu ayo kita minta ijin dengan kakakmu, aku yang akan meminta ijin membawamu pergi.”
Aglaya terbengong sesaat tapi kemudian ia menurut saja. Ia takut kakaknya tak akan memberinya ijin untuk berjalan-jalan karena ia memang dilarang untuk dekat dengan orang Korea. Selain itu ia juga belum bercerita jika akhir-akhir ini ia dekat dengan Yesung.
Akhirnya mereka berdua sampai di depan pintu apartemen. Yesung memencet bel apartemen. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya pintu terbuka. Andre terdiam menatap kedua tamunya. Selama beberapa saat mereka terdiam. Namun akhirnya Yesung membuka suara terlebih dahulu.
“Andre-ssi. Apa kabar Hyung?” tanyanya dengan riang kemudian dia menghambur memeluk Andre, kakak Aglaya.”
“Ah, Yesung-ah. Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu? Lama tidak bertemu,” jawab Andre sambil membalas memeluk teman dekatnya tersebut.
“Nado gwaenchanha,” balas Yesung seraya melepaskan pelukan mereka.
Aglaya yang menyaksikan kejadian tersebut hanya dapat terbengong menatap dua pria di depannya. Ia tidak menyangka kedua orang tersebut ternyata saling kenal. Ia masih terpaku beberapa saat hingga akhirnya berani membuka mulutnya. “K-ka-kalian saling kenal?” tanyanya ragu-ragu.
Kedua pria yang sedang asyik mengobrol itu menoleh kemudian mengiyakan secara bersamaan. Lalu Andre menyuruh mereka masuk ke dalam.
“Aya-ya,” panggil Yesung saat masuk ke apartemen. “Kenapa kau tidak pernah bilang jika Hyung ini Oppamu?” lanjutnya seraya duduk di kursi.
“Andre Oppa tak pernah cerita padaku kalau dia mengenal Yesung Oppa. Jadi mana mungkin aku bisa cerita ke Oppa tentang Andre Oppa,” jawabnya sedikit kesal karena merasa disalahkan oleh Yesung karena tak menceritakan tentang Andre kepadanya.
“Ya! Hyung, jadi kau tidak pernah menceritakanku kepada dongsaengmu ini? Padahal dia kan penggemar beratku,” tanya Yesung kepada Andre yang kemudian hanya dijawab dengan tertawa oleh kakak Aglaya tersebut.
“Hyung, kenapa kau malah tertawa?”
“Karena aku tahu bahwa adikku adalah penggemarmu, jadi aku malas bercerita tentangmu?” jawab Andre akhirnya.
“Tapi kenapa Hyung?” Yesung penasaran.
“Dia pasti akan mewawancaraiku seputar dirimu, dan tentu saja dia akan mengabarkan ke seluruh teman-temannya jika kakaknya mengenal Yesung Super Junior. Dan kau tahu apa yang akan terjadi dirumahku jika hal tersebut benar-benar terjadi? Rumahku akan berubah seperti pasar setiap harinya karena teman-teman Aya akan datang untuk mewawancaraiku tentang dirimu dan bla bla bla…” Andre menjelaskan panjang lebar. Sementara Aglaya hanya cemberut sambil menatap kakaknya dengan tatapan evil.
“Bagaimana kalian berdua bisa saling kenal?” tanya Aya kemudian.
“Hyung itu dulu kakak kelasku di kampus. Dia orangnya ramah dan sangat baik sehingga aku merasa nyaman berteman dengannya,” jawab Yesung singkat.
Aglaya terkejut mendengar pujian Yesung atas kakaknya itu. “Andre Oppa ramah dan sangat baik? Maldo andwae, Oppa. Neomu maldo andwae. Dia sangat jahat kepadaku,” ungkap Aglaya kemudian.
Yesung hanya tertawa mendengar pengaduan Aglaya. Dia tidak menanggapinya sama sekali.
“Yesung-ah,” suara Andre memecah keheningan yang terjadi beberapa saat.
“Ne, Hyung?”
“Bagaimana kau bisa mengenal adikku?”
“Aku menemukannya pingsan di jalan dan kemudian membawanya ke klinik terdekat,” jawab Yesung jujur.
“Pingsan?” tanya Andre kaget. Kemudian ia menatap Aglaya dengan tatapan ‘kau akan mati malam ini’. Yang diberi tatapan tersebut hanya bisa nyengir kuda kemudian membalas kakaknya dengan tatapan ‘maafkan aku kak’.
“Ne, dia mengaku kalau dehidrasinya kambuh karena lupa minum pagi itu,” jawab Yesung. “Dia tak pernah menceritakannya kepadamu, Hyung?” lanjutnya kemudian.
Andre hanya menggelengkan kepalanya. Yesung terkejut melihatnya lalu ia menoleh ke arah Aglaya, siap untuk memarahinya.
“Ya! Aya-ya. Kenapa kau tak menceritakan hal ini kepada Oppamu, hah?”
“Mianhae, jeongmal mianhae. Aku takut kakakku marah,” jawab Aglaya penuh penyesalan.
“Ah neo, jeongmal..” balas Yesung dengan tatapan sedikit kesal.
***
“Oppa..” panggil Aya kepada Yesung yang sedikit berjalan di depannya.
“Ne? Kau lelah chagiya? tanyanya dengan senyum yang selalu mengembang di bibirnya.
Aglaya menganggukkan kepala. Kemudian Yesung mendekatinya dan menggandeng tangannya lalu mengajak Aya untuk mencari tempat beristirahat di pinggiran Sungai Han. Yesung mengajak Aya duduk di rerumputan sambil menikmati udara awal musim semi. Tak disangka sudah sebulan ia berada di Korea. Ia datang ke sini akhir musim dingin lalu. Dan dua minggu lagi ia akan kembali ke Indonesia karena liburannya akan segera berakhir dan dia harus menyiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi setelah selama tiga tahun mengenyam pendidikan di SMA.
“Aya-ya..” suara Yesung memecah kesunyian di antara mereka berdua.
“Ne?”
“Dua minggu lagi kau akan kembali ke Indonesia kan?” tanya Yesung dengan nada sedih.
“Ne Oppa, waeyo?”
“Aku pasti akan sangat sedih ditinggalkan olehmu. Kau baru saja menjadi yeoja chinguku tapi sebentar lagi kau akan meninggalkanku,” keluhnya seraya menyandarkan kepalanya ke bahu Aglaya.
“Kau tidak boleh berkata begitu Oppa, aku sebenarnya juga merasa sedih dengan hal ini. Tapi kita kan masih bisa berhubungan lewat telepon, skype, dan jejaring sosial lainnya. Atau jika Oppa ada waktu, Oppa bisa berkunjung ke Indonesia.”
“Tapi aku tetap akan merasa sedih sekali…”
“Sudahlah Oppa, jangan memikirkan hal itu lagi,” ungkap Aglaya sambil memeluk namja chingunya itu.
“Aya-ya..”
“Ne?”
“Kenapa kau tidak melanjutkan kuliah di sini saja?”
“Mian Oppa. Eommaku belum mengijinkannya..” jawab Aglaya lemah.
“Tapi di sini ada Hyung dan juga aku yang akan menjagamu,” balas Yesung dengan sedikit mengerang.
“Aku sudah pernah bilang pada Eomma, tapi beliau belum mengijinkanku untuk kuliah di sini meskipun ada Andre Oppa dan Jong Woon Oppa.”
“Jong Woon Oppa?” Yesung sedikit terkejut mendengar nama itu.
“Ne, bolehkah aku memanggilmu dengan Jong Woon Oppa? Aku merasa tidak nyaman jika memanggilmu Yesung Oppa.”
Mata Yesung berbinar mendengar penjelasan Aglaya tentang panggilan yang akan di terimanya. Dia memang merindukan ada seseorang selain keluarganya yang memanggilnya menggunakan nama aslinya Kim Jong Woon. “Ne chagiya, keureom. Aku senang sekali kau mau memanggilku dengan nama asliku,” katanya kemudian sambil mengeratkan pelukannya terhadap Aglaya.
Pemandangan di sekitar Sungai Han sore ini terlihat indah. Orang-orang banyak yang bermain air walaupun air di sini masih terasa dingin karena sempat membeku saat musim dingin lalu. Lampu-lampu kota sudah mulai menyala karena sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduannya.
Jong Woon menarik tangan Aglaya seraya mengajaknya pulang. Namun sebelum pulang mereka memutuskan untuk mampir ke dorm SuJu atas permintaan Aglaya. Aya ingin mengucapkan salam perpisahan kepada oppadeul karena selama dua minggu ke depan mungkin mereka tidak akan dapat bertemu karena kesibukan masing-masing.
Setelah berjalan kaki selama beberapa saat, akhirnya mereka berdua sampai ke dormnya oppadeul. Leeteuk lah yang pertama kali membukakan pintu dan langsung menyuruh mereka masuk ke dalam.
“Aya-ya, apa kabar?” sapa Khuhyun yang kebetulan sedang berada di ruang tengah menonton TV. Sungmin yang berada di sebelahnya sontak menoleh saat mendengar nama Aya dipanggil. Ia kemudian juga menanyakan kabar kepada yeoja chingu hyungnya itu.
“Gwaenchanha,” jawab Aglaya sambil tersenyum. “Oppa Gwaenchanhayo?” lanjutnya kemudian.
“Keureom ne chagiya,” jawab duo Kyumin itu bersamaan.
Setelah menyuruh kedua tamunya duduk Leeteuk langsung dengan heboh berlari ke arah kamar member lain dan menyuruh mereka untuk segera keluar karena ada tamu istimewa datang.
“Ya! Hyung, janganlah kau terlalu berlebihan. Kami kan hanya dongsaengmu,” seru Yesung pada leader SJ itu karena tak tahan melihat perilakunya yang sangat konyol.
“Kalian ini dongsaeng yang istimewa bagiku,” sahutnya masih dengan berlari-lari ke kamar member yang belum keluar.
Setelah sang leader berkelana dari kamar satu ke kamar lainnya, seluruh member SJ berkumpul di ruang tengah untuk menemui apa yang dibilang sang leader sebagai tamu istimewa. Mereka semua lalu memberi salam kepada tamunya tersebut dan bertanya kabar kepada Aglaya.
“Jadi, kenapa kau kesini Aya-ya? Sepertinya ada hal penting yang ingin kau bicarakan kepada kami semua,” tanya Donghae kemudian disusul anggukan oleh member lainnya.
“Ne Oppa, aku kesini mau pamitan kepada kalian semua,” jawab Aya jujur.
“Pamitan?” tanya Enhyuk, Ryeowook, dan Shindong secara bersamaan.
“Dua minggu lagi aku harus pulang ke Indonesia untuk kuliah di sana,” jelas Aglaya dengan perasaan sedih.
“Mwo?!” semua member berteriak bersamaan mendengar pemaparan Aglaya.
“Kenapa kau tidak melanjutkan kuliah di sini saja?” kali ini giliran Leeteuk bertanya.
“Kau tega meninggalkan Hyung di sini?” Ryeowook menambahkan.
“Eomma belum mengijinkanku kuliah di sini. Aku juga tak tega meninggalkan Jong Woon Oppa. Aku sangat menyayanginya,” jelas Aglaya.
“Kenapa Eommamu tak mengijinkan kau tinggal di sini. Di sini kan ada Oppamu, Hyung, dan juga kami yang akan selalu menjagamu,” kali ini giliran Siwon buka suara.
“Aku tidak tahu Oppa,” Aglaya menggeleng sedih.
Ruang tengah sunyi untuk beberapa saat. Semua penghuni sibuk terhadap pikiran mereka masing-masing. Ryeowook terlihat sangat sedih saat mendengar bahwa Aya akan kembali ke Indonesia karena itu berarti tak ada yang akan membantunya lagi dalam memasak hidangan dari Indonesia. Member lainnya pun juga merasa demikian. Namun perasaan sedih yang amat sangat tentu saja dirasakan oleh Yesung. Secara diam-diam ternyata ia terisak di tengah kesunyian yang melanda mereka. Hal itu tentu saja mengejutkan semua member juga Aglaya. Tanpa pikir panjang, semua member menghambur ke arah Yesung dan memeluknya juga Aglaya. Mereka semua pun akhirnya menangis bersama. Tak rela jika Aya harus meninggalkan Korea dua minggu lagi.
***
“Ya Oppa!” seru Aglaya tiba-tiba.
“Ne, waeyo?”
“Oppa, kau janganlah berjalan di belakangku.”
“Memangnya kenapa jika aku berjalan dibelakangmu?” tanya Yesung penasaran.
“Kau membuat punggungku terasa dingin. Berjalanlah di depanku saja Oppa,” jawab Aglaya.
Yesung hanya terbengong mendengarkan pernyataan Aglaya. Sepertinya semua orang selalu merasa bagian tubuh belakang mereka terasa dingin jika ia berada dibelakang mereka. “Kenapa semua orang selalu merasa tidak suka jika aku berjalan di belakang mereka?” gumamnya sambil terus berjalan.
“Ya Oppa! Kau tidak mendengarku? Berjalanlah di depanku saja,” kini Aglaya mengatakannya sambil setengah berteriak.
“Keureom, kau cerewet sekali malam ini,” keluh Yesung sambil berjalan di depan Aglaya. Namun tiba-tiba saja ia berhenti dan tentu saja membuat kepala Aglaya menabrak punggungnya dan menyebabkan Aya mengaduh kesakitan. “Aku tidak mau berjalan di depanmu. Di sini banyak sekali stalker, aku tak mau mereka mencelakaimu. Jadi aku akan berjalan di sampingmu saja,” katanya kemudian.
Mereka berjalan sambil bergandengan tangan melewati gang-gang yang tidak terlalu lebar menuju apartemen yang dihuni oleh Aglaya dan Andre. Kali ini mereka tidak lewat jalan yang biasa mereka lewati untuk pulang ke apartemen. Mereka memilih jalan memutar yang lebih jauh karena ingin mencoba menjelajah daerah di sekitar apartemen tersebut.
Keduanya berjalan dalam diam, tak berbicara sepatah kata pun. Hanya genggaman tangan mereka yang semakin erat. Entah mengapa suasana malam ini begitu sepi, tidak seperti biasanya yang selalu ramai. Lampu-lampu di sekitar gang tersebut juga banyak yang sudah padam. Padahal ini baru jam sepuluh malam. Biasanya sampai pagi pun tak ada satu lampu pun yang padam di kawasan ini.
Tiba-tiba langkah Yesung terhenti. Hal ini sontak membuat Aglaya kaget. “Oppa, waeyo?” tanya Aglaya penasaran.
“Ah, kita beneran mau lewat sini?”
“Memang kenapa Oppa?”
“Memangnya kau tidak tahu? Di depan sana ada bekas kedai teh yang katanya sangat berhantu,” kata Yesung menjelaskan.
Aglaya terkikik mendengar penjelasan namja chingunya tersebut. “Aku tahu, Oppa. Memangnya kenapa? Oppa takut?” katanya kemudian.
Yesung sedikit tersentak dengan pertanyaan Aya. “Ah, aniya. Aku tidak takut sama sekali.”
“Jinjjayo Oppa? Aku dengar dari salah satu Ahjumma di sini bahwa di bekas kedai teh itu ada hantu wanita tua yang sangat mengerikan. Penampilannya sungguh mengerikan, lumuran darah ada dimana-mana.”
Yesung menggigit bibirnya mendengar perkataan Aglaya. Bulu kuduknya mulai meremang. Tapi dia berusaha tidak menampakan ketakutannya di depan Aya. Dia merasa gengsi. “Aniya. Aku tidak takut,” jawabnya lantang.
“Jinjjayo?” Aglaya masih belum percaya dengan Yesung. Sebenarnya dia sudah tau kalau Yesung ketakutan. Tangan namja chingunya itu terasa dingin sekali. Namun ia ingin mengerjainya karena ia sering menakut-nakuti orang lain padahal dia sendiri takut sekali dengan hantu.
“Aniya, aku tidak takut sama sekali.”
“Baiklah, ayo kita buktikan. Aku akan berjalan terlebih dulu dan kau Oppa, kau menjagaku dari belakang. Bagaimana?”
Yesung kaget dengan tantangan yang diberikan Aya. Namun akhirnya ia menyanggupinya. “Baiklah, mari kita lakukan. Sana, kau jalan lebih dulu.”
Aglaya langsung berjalan di depan Yesung setelah mendapat persetujuannya. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat, kadang-kadang ia pun berlari, sengaja ingin membuat Yesung tertinggal.
“Aya-ya! Jangan berlari!” seru Yesung dari belakang. Ia mulai ketakutan. Seluruh bulu kuduknya sudah meremang. Tengkuknya terasa dingin dan keringat dingin pun mulai keluar dari tubuhnya. Ia sungguh ketakutan. Tepat di depan bekas kedai teh langkah kakinya terhenti. Ia sudah tak melihat lagi sosok Aglaya di depannya. Dia kemudian menoleh ke arah kedai tersebut. Ia ingin segera berlari dari tempat itu, namun kakinya tidak mau diajak kompromi untuk melarikan diri dari tempat menyeramkan itu. Ia pun hanya bisa terpaku sebelum akhirnya terduduk lemas karena ketakutan.
Aglaya terus saja berjalan dan kali ini dengan langkah yang sangat pelan, sengaja menunggu Yesung yang berada di belakangnya. Namun setelah menunggu beberapa saat, namja chingunya itu belum juga muncul. Aya mulai merasa cemas dan bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Yesung. Ia pun memutuskan untuk kembali ke bekas kedai teh tersebut untuk memastikan apakah Yesung masih ada disana atau tidak. Setelah berjalan beberapa saat ia sampai di depan bekas kedai teh tersebut. Dia terkejut saat melihat Yesung terduduk lemas sambil menunduk memegangi lututnya. Aya lalu mendekatinya dan mendengar isakan dari mulut Yesung.
“Oppa,” panggil Aya pelan.
Yesung yang mendengar suara yang sangat dikenalnya itu kemudian menegakkan kepalanya dan tanpa basa-basi langsung memeluk Aglaya.
“Oppa, kenapa kau menangis?” Aglaya bertanya sepelan mungkin sambil menggosok punggung Yesung dengan lembut.
“Kenapa kau meninggalkanku? Padahal kau sudah tahu kan jika aku ketakutan? Kenapa masih meninggalkanku?” Yesung merengek seperti anak kecil dalam pelukan Aya. Dia belum berhenti menangis.
“Mianhae Oppa. Jeongmal mianhae,” Aglaya sungguh merasa bersalah dalam hal ini. Ia semakin mengeratkan pelukannya dan akhirnya, untuk pertama kalinya ia menempelkan bibirnya ke bibir Yesung dengan lembut untuk menghentikan tangis namja chingunya tersebut.
Yesung sempat kaget dengan perlakuan Aya. Namun akhirnya ia membalas ciuman yeoja chingunya. Ia membalasnya dengan sangat lembut. Mereka masih berpelukan ketika ciuman yang panjang dan lembut itu berlangsung.
***
Para member SJ sudah berkumpul di depan apartemen Aglaya untuk mengantar kepulangan Aya ke Indonesia. Mereka terlihat muram, tak terkecuali Yesung yang sedari tadi sudah menahan air matanya agar tidak keluar.
Mereka berangkat ke Incheon Airport dalam diam di sepanjang perjalanan. Terlarut pada pikiran mereka masing-masing. Tak ada satu pun di antara mereka yang mengeluarkan suara sampai Aya mendapat panggilan untuk segera masuk pesawat karena dalam waktu sepuluh menit lagi pesawat akan take off dari Incheon menuju Bandara Soekarno Hatta di Tangerang.
Seluruh member SJ memberikan pelukan hangat kepada Aya sebelum mereka benar-benar melepasnya kembali ke Indonesia.
“Oppa, kenapa kau menagis?” tanya Aya ketika ia berada dalam pelukan namja chingunya.
“Aku sedih karena kau akan pulang ke Indonesia. Kenapa kau tidak menetap saja di sini bersama kami? Bersama Andre Hyung,” Yesung mencoba mengutarakan seluruh permintaannya.
“Mianhae Oppa, aku tidak bisa. Aku harus melanjutkan pendidikanku di sana. Tapi aku janji Oppa, setiap liburan semester aku berjanji akan selalu ke Korea untuk menemuimu. Oppa uljima,” jawab Aya sambil tersenyum seraya melepaskan dirinya dari pelukan Yesung.
“Jinjjayo? Kau janji kan?” kali ini Yesung sedikit lega. Walaupun hanya setiap enam bulan sekali ia dapat bertemu Aya, setidaknya dia masih dapat bertemu langsung dengan yeoja chingunya daripada tidak pernah bertemu sama sekali.
“Ne Oppa, aku janji,” kata Aglaya sambil tersenyum. “Oppa, sudah saatnya aku naik ke pesawat. Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik Oppa,” lanjut Aya kemudian setelah mendengar panggilan terakhir dari petugas bandara agar dirinya segera naik pesawat.
“Keureom, kau juga harus jaga kesehatanmu. Perbanyaklah minum agar kau tak dehidrasi lagi.”
“Ne Oppa, kamsahamnida telah memperhatikanku.”
Aglaya melambaikan tangan kepada seluruh orang yang mengantarnya. Ia mulai menitikkan air mata ketika harus meninggalkan mereka semua.
“Aya-ya,” Yesung memanggilnya dan berlari kearahnya kemudian memeluknya lagi. Kali ini pelukan itu terasa sangat erat karena sepertinya Yesung tak ingin Aya pergi. Setelah beberapa saat, akhirnya Yesung melepaskan pelukannya dan mencium lembut bibir Aglaya dalam waktu yang cukup lama.
“Pergilah, jaga dirimu baik-baik Aya-ya. Jangan lupa tepati janjimu,” kata Yesung kemudian mencoba tegar melepaskan kepergian Aglaya.
“Keureom Oppa, Annyeong,” balas Aglaya sambil melambaikan tangannya.
“Annyeong.”

FIN

About this blog

Total Pageviews

Powered by Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers

Let's Talk

Quelle heure est-il?

Most Viewed

Labels