Pekat malam kembali menyudutkanku ke dalam sudut-sudut
tumpul perasaan. Saat semua yang kuputuskan telah berjalan sesuai rencana,
namun tiba-tiba rasa penyesalan itu muncul sebagai awal titik lemahku terkuak. Aku
menyesali keputusanku yang secepat itu membuka lembar demi lembar perasaan yang
sekian lama aku sembunyikan. Aku menyesalinya.
Ah, sudahlah. Tak ada gunanya lagi membicarakan sesuatu
yang sudah telanjur dimuntahkan. Aku memang ceroboh. Aku memang bodoh. Secepat itukah
aku menyerah menyembunyikan denting-denting rindu untuknya?
Di bawah temaram bulan yang bersinar malam ini, aku
mencoba mengikhlaskan segalanya. Mencoba merelakan lembaran perasaan yang
telanjur aku buka. Mungkin itu pilihan tepat yang memang Tuhan gariskan
untukku. Dapatkah aku melakukannya?